Batavia atau Jakarta pada abad ke-17 memiliki kecantikan dengan sistem kanalnya yang berfungsi untuk memperlancar aliran sungai ke laut, jalur transportasi, sarana pertahanan, dan alur pemasok air kebutuhan kota.
Namun, lama-kelamaan Kali Ciliwung tidak mampu lagi memikul beban hidrolis. Kota Batavia pun mulai kekurangan air, terutama pada musim kemarau. Setelah itu, mulailah kanal-kanal dibuka-tutup, tetapi hasilnya tidak sempurna. Batavia mulai ditinggalkan masyarakatnya, dan pindah ke wilayah di sepanjang kanal yang dinamakan Kanal Molenvliet. Kanal ini pun menjadi awal dari perkembangan kota ke arah pusat, ke kawasan Weltevreden yang sekarang merupakan Jakarta Pusat.
Terusan yang menghubungkan Weltevreden dengan Oud Batavia itu diapit oleh Molenvliet Oost (kini Jalan Hayam Wuruk) dan Molenvliet West (Jalan Gajah Mada). Molenvliet berawal dari Nieuw poort atau gerbang baru (kini kawasan Glodok) hingga ke selatan dekat Benteng Rijswijk (kini Bank Tabungan Negara) dan membagi alirannya ke Ciliwung dan ke arah barat, yakni ke arah Sungai Krukut.
Aliran sungai ke arah Ciliwung melalui Noordwijk (sekarang Jalan Juanda) dan Risjwijk (sekarang Jalan Veteran) hingga taman Wilhemina yang kini menjadi kompleks Masjid Istiqlal. Di depan Masjid Istiqlal inilah terdapat pintu air yang digunakan untuk mengendalikan aliran dari Kanal Molenvliet.
Dahulu, di sekitarnya merupakan kawasan elit yang banyak dihuni orang Belanda. Setelah kemerdekaan RI, nama jalan diganti menjadi Jalan Pintu Air hingga kini. Kawasan Masjid Istiqlal pada abad ke-19 sangat indah, dan terdengar suara gemericik air dari kanal.
Kanal-kanal tersebut juga pernah dijadikan sebagai tempat mandi masyarakat sekitar, terutama pribumi, karena kualitas airnya masih baik. Kanal Molenvliet dulunya sering dijadikan lokasi berbagai perayaan, seperti perayaan hari ulang tahun Jakarta dan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Namun, semenjak tahun 1980-an, air kali mulai keruh dan makin keruh hingga kini. Kanal itu berisi lumpur hasil sedimentasi tanah dan sampah. Dari Molenvliet hingga ke terusannya di Jalan Juanda, kondisinya serupa. Air berwarna coklat pekat dipenuhi sampah. Hingga di Pintu Air Istiqlal, sampah-sampah kerap menumpuk dan menimbulkan masalah. Saat intensitas air di Sungai Ciliwung tinggi, sampah memenuhi sungai ini dan berpotensi membuat air meluap ke jalan.
Kini, ada empat jembatan besar dibangun di atas kanal untuk kendaraan berputar arah, serta empat jembatan kecil untuk pejalan kaki. Terdapat juga empat halte TransJakarta yang berdiri di atas Molenvliet, yakni Halte Harmoni, Sawah Besar, Mangga Besar, dan Olimo.
Kanal-kanal di Jakarta sempat melalui masa kejayaannya ketika kanal berperan dalam menciptakan kota yang aman, bersih, nyaman, dan dapat dijadikan area rekreasi. Hingga akhirnya kanal tersebut mati, terabaikan, dan dipenuhi aneka kotoran. Kini, mulai muncul impian agar kanal yang ada dikembalikan sesuai fungsi pada masa lalu. Semoga saja!